Rabu, 04 April 2012

Semana Santa Larantuka

Tuan Ma, prosesi 2011



Melihat Dari Dekat Semana Santa Larantuka (1)

"Maria Misionaris Pertama"


Silverius Koten,


Setiap tahun, pada perayaan pekan suci - sepekan sebelum paskah - kota Larantuka, sebuah kota kecil di ujung timur pulau Flores, selalu didatangi ribuan pesiarah. Tradisi unik di kota itu, menjadi alasan kedatangan para pesiarah. Di sana, tradisi gereja katolik terinkultirasi dengan dua budaya yang terpelihara dengan baik selama 5 abad. Budaya Lamaholot dan budaya Portugis.

Menyambut perayaannya tahun ini, kota Larantuka mulai didandani. Meski belum cantik benar, wajah kota itu mulai dibersihkan. Tumpukan sampah di jalan-jalan dibakar. Lubang-lubang di sepanjang jalan utama ditambal - meski terpaksa dengan semen. Di Kapela-tempat ibadah dengan ukuran kecil dan tori-tempat sembayang milik suku-suku semana, juga mulai tampak sibuk dengan persiapan.

Di tengah persiapan itu, tampak sejumlah pesiarah sudah mulai berdatangan. Rombongan mahasiswa Kupang, pesiarah seantero nusantara bahkan dari luar negeri tampak mulai hilir mudik mengunjungi kapela. Puncak kedatangan pesiarah setiap tahun biasanya pada hari rabu trewa dan kamis putih.

Semana santa sebenarnya sebutan dalam bahasa Portugis untuk Pekan Suci. Dalam tradisi gereja Katolik, pekan suci dimulai pada minggu Palma sampai minggu paskah. Pada masa itu, orang Katolik berdoa, berpuasa, dan menimba rahmat sambil merenung dan mengenangkan kisah Yesus mulai dari masuk kota Yerusalem, perjamuan terakhirnya dengan para murid, Wafat hingga kebangkitanNya.

Di Larantuka, semana santa atau pekan suci dikenal juga dengan sebutan "hari bae" (hari baik); saat berahmat. Secara liturgis, semua bentuk perayaan dalam pekan suci di Larantuka sama dengan perayaan di gereja Katolik di seluruh dunia. Yang membedakannya adalah devosinya (doa khusus) pada Maria.
Tikam Turo

Agama Katolik sendiri masuk ke Flotim melalui Solor. Diceritakan, pada tahun 1550, sebuah kapal dagang Portugis singgah di pulau Solor dalam perjalanan dagang membeli rempah-rempah. Para pedagang Katolik ini berkenalan dengan masyarakat setempat, mengajar Agama dan mempermandikan sejumlah orang di sana. Tahun 1556, sebuah kapal Portugis melintasi wilayah itu dan ketika menghadapi cuaca buruk, ia mampir dan berlindung di pulau solor. Nahkoda kapal itu mengajarkan agama Katolik kepada raja Lohayong (Solor) dan mempermandikannya menjadi Katolik.

Apa yang dirintis oleh kaum awam yang pedagang ini kemudian dilanjutkan oleh para misonaris Portugis yang datang kemudian. Di bawah para misionaris Dominikan, Gereja Solor berkembang. Misionaris pertama adalah pastor Antonio de Taceira. Mereka kemudian mendirikan benteng Lohayong (Fort Henricus).

Perkembangan iman Katolik juga tidak bisa dilepas pisahkan dari peran raja Larantuka dan para suku-suku semana. Pada 1665, Raja Ola Adobala dibaptis atau dipermandikan dengan nama Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho. Raja ini kemudian menyerahkan tongkat kerajaan berkepala emas kepada Bunda Maria Reinha Rosari.

Setelah tongkat kerajaan itu diserahkan kepada Bunda Maria, Larantuka sepenuhnya menjadi kota Reinha dan para raja adalah wakil dan abdi Bunda Maria. Pada 8 September 1886, Raja Don Lorenzo Usineno II DVG, raja ke-10 Larantuka, menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka. Sejak itulah, Larantuka disebut dengan sapaan Reinha Rosari.

Prosesi pada malam jumat Agung juga merupakan tradisi yang ditinggalkan bangsa Portugis. Dalam prosesi yang disebut sesta Vera itu, Arca Maria Bunda Berdukacita atau Mater Dolorosa yang oleh orang Larantuka disebut Tuan Ma yang diarak keliling kota.

Prosesi Laut

Ada beberapa versi ceritera tentang keberadaan Tuan Ma. Salah satu versi menurut tutur sejarah lisan menyebut, mula-mula ditemukan oleh seorang pemuda bernama Resiona di pantai Larantuka pada tahun 1500-an. Arca wanita cantik itu kemudian dibawa olehnya dan ditahtakan di rumah adat sukunya (Koke Bale). Arca wanita cantik itu, diperlakukan selayaknya sebuah benda keramat milik suku.
Misionaris Portugis yang datang kemudian, memperkenalkan bahwa arca itu adalah Maria. "Maria adalah misionaris pertama di Larantuka, dia yang mula-mula datang sebelum para misionaris Portugal dan Belanda," ungkap ketua Dewan Paroki Katedral Reinha Rosari, Saul da Costa.

Setelah keluarga Resiona menjadi Katolik, arca Tuan Ma dipindahkan ke Kapela. Meski demikian, Suku Resiona hingga kini tetap sebagai penjaga Tuan Ma.

"Ritus ini mulanya milik Resiona, tetapi setelah dipindahkan ke Kapela dia sudah menjadi milik RENU atau milik umat seluruhnya," terang pembina serikat awam Katolik Conferia, Emanuel Sani de Ornay.

Versi lainnya menyebut, patung tuan ma dibawah oleh misionaris portugis Gaspardo Espirito Santo dan Agostinhode Madalena pada abad ke 16. Yang lainnya mengatakan, arca tuan ma terdampar di pantai Larantuka setelah kapal milik portugis karam di pantai kea atau Lokea.

Prosesi malam Jumat Agung sendiri, menurut Eman berlangsung beberapa tahun setelah kedatangan Arca Tuan Ma. Prosesi itu menurutnya merupakan sebuah strategi show force untuk mempertahankan iman umat yang terguncang akibat serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Belanda dan umat non Katolik ke Kota Larantuka setelah sebelumnya telah berhasil menguasai benteng Fort Henricus di Lohayong Solor.

"Banyak imam Katolik yang meninggal dalam pertempuran itu, umat Katolik seperti domba yang kehilangan gembala, tidak ada pelayanan sakramen dalam waktu yang cukup lama, umat tercerai berai, banyak yang melarikan diri ke hutan, tapi keberadaan serikat awam Conferia yang dibentuk misionaris ordo Dominikan membuat umat tetap berkanjang dalam doa. Saat-saat sulit seperti itu, Maria sungguh dialami sebagai penghibur, pendoa, pembawa pengharapan kepada Putranya Yesus, pengalaman iman seperti itulah yang membuat Maria tidak bisa dilepas lagi dari kehidupan iman bahkan keseharian umat," tutur Eman.

Selain raja, peran suku-suku semana juga sangat besar dalam menjaga tradisi semana santa Larantuka. Ada 13 suku semana yakni Suku Kabelen Resiona, Lewai atau Laveri-Kabu, Raja Ama Koten atau DIaz Viera de Godinho, raja ama Koten atau suku Kea- Aliandu, raja ama Kelen atau Blantaran de Rosari, ama Maran, Sau-Diaz, Riberu-da Gomes, suku Kelen (Balela), Lamuri, da Silva Mulawato, Lawerang, Kapitan Jentera-Fernandez Aikoli.

Kepemimpinan tradisional inilah yang dipakai oleh misionaris Portugal sebagai pintu masuk Katolik. Suku-suku ini selain melakukan doa (mengaji semana), juga menjaga warisan suku berupa benda-benda suci. Kapitan Jentera atau Fernandez Aikoli misalnya, suku ini merupakan penjaga sebuah patung Yesus dengan tangan terikat. Oleh orang Larantuka disebut tuan trewa. 

"Benda-benda suci diserahkan ke suku-suku untuk disimpan di Koke Bale menjadi media pengkatolikan umat waktu itu, benda-benda suci itu menjadi aset suku, dijaga secara turun temurun, kemudian saat ini disimpan di tempat khusus milik suku yang disebut tori," imbuh Saul da Costa.


"Termakan Usia, Digantikan Duplikat" 


Umur arca tuan ma kini mencapai 502 tahun. Ketika mencapai umur 500 tahun atau tepat 5 abad pada 07 Oktober 2010 silam, umat merayakan pestanya secara besar-besaran. Perhitungan umurnya sendiri didasari pada studi sejarah Tuan Ma yang ditulis oleh seorang Belanda, Francois Valentyn. Buku yang berjudul Oud en Nieuw Oost Indien etc itu melaporkan tentang adanya musibah karam di Pulau Penyu yang disebut Nusapinha Lokea yang aslinya Lewo Kea (kampung Penyu).

Studi sejarah itu, paralel dengan salah satu versi sejarah tentang Tuan Ma yang dituturkan di Larantuka. Dari berbagai ceritera yang penuh misteri itu, dikisahkan juga bahwa arca Tuan Ma ditemukan terdampar di pantai Lewo Kea setelah mengapung di sebuah kapal Portugal karam di perairan.

Terlepas dari berbagai misteri yang melingkupi kehadiran Tuan Ma di tengah umat di Larantuka, arcanya tidak luput dimakan usia. Tuan Ma yang setiap tahun selama ratusan tahun berarak bersama umat mengikuti kisah hidup putranya Yesus dalam tradisi sesta vera akhirnya rapuh juga.



Tuan Ana yang dipikul Lakademu
Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong Kung, Pr, dengan semangat menjaga kelangsungan tradisi itu mengusulkan untuk dibuatkan sebuah duplikat Tuan Ma. Meski sebagai Uskup, ia adalah pemimpin tertinggi gereja yang melingkupi wilayah Flores Timur dan Lembata, namun niatan itu tidak bisa dipaksakannya. Ia tahu, Tuan Ma, meski sudah menjadi milik umat tetapi dipelihara dan terwariskan dalam tradisi suku-suku semana.

"Ide awalnya sudah ada sejak perayaan 5 abad. Banyak yang memberi masukan kepada bapa uskup," terang sekertaris uskup, Rm. Blasius Kleden, Pr ketika ditemui di istana kesukupan, selasa (03/04).

Pada bulan desember 2012, uskup menyampaikan ide itu kepada putra raja Larantuka, Don Martinus DVG. Gayung bersambut, Don Tinus mengumpulkan semua suku-suku semana, perangkat kapela, dan conferia-serikata awam gereja yang berdevosi khusus kepada Bunda Maria.

Rencana itu ternyata mendapat reaksi beragam. Banyak yang menolak dengan keras. Seorang Lajenti-petugas dari suku tertentu yang selalu berjalan mundur di depan Tuan Ma setiap prosesi-bahkan mengancam akan berhenti. Don Tinus, terpaksa mengancam dengan otoritasnya, untuk mengalihkan tugas Lajenti ke suku lain.

"Barang yang tabu ko kamu seenaknya mau rubah," tutur Don Tinus mengulang protes umat.

Kesepakatan kemudian tercapai. Meski masih ada sejumlah penolakan. Patung Tuan Ma asli setiap tahun tetap ditahtakan di kapelanya untuk upacara cium tuan. Sementara, duplikat hanya untuk perarakan mengikuti rute prosesi saja. Sebelum pembuatan duplikat, suku-suku semana,conferia, dan perangkat kapela melakukan novena selama 9 hari di kapela Tuan Ma. Novena itu dilakukan dengan satu tujuan: memohon ijin dari Tuan Ma.
Tuan Meninu



Butuh waktu 48 hari bagi Emil Diaz (55), seniman pematung, untuk menyelesaikan pekerjaannya. Ia diberi sebuah ruang khusus di istana keuskupan. Sebelum mulai pekerjaannya, Emil yang juga adalah kerabat kerajaan Larantuka itu, disumpah untuk tidak menceritakan kepada siapapun ikhwal pembuatan patung itu.

Hasilnya memuaskan. Patung yang berbahan dasar fiber itu mirip dengan aslinya. Kemiripan rupa itu juga, menurut Rm. Blasisus, mampu meredam protes sejumlah suku-suku semana. Hal itu, menurutnya, terindikasi dari kehadiran umat ketika pemberkatan patung itu di istana keuskupan, kamis (29/03) lalu.

"Jumlahnya umat yang datang mencapai sepertiga umat yang ikut perosesi jumat agung," katanya.

Mgr. Frans Kopong sendiri, ketika pemberkatan Tuan Ma duplikat, menegaskan,  jika patung hanyalah sarana sikap dan teladan hidup. Patung menurutnya bukan tujuan. Patung hanya alat yang membantu umat untuk lebih menghayati kehidupan iman serta mengenal dan mencintai Bunda Maria.


Duplikat Tuan Ma
 ”Patung bukan pusat. Bukan tujuan dari devosi dan ibadat. Ia hanya alat yang membantu agar kita lebih mengenal dan mengasihi Tuhan dan Bunda Maria serta mencontohi sikap dan teladan hidup Bunda Maria,” ujar Uskup Frans.

Usia patung yang sudah mencapai 500 tahun, bagi Uskup Frans, rapuh juga oleh hukum alam. Usianya yang menua, membuat kondisi patung Tuan Ma tidak aman untuk diarak dalam prosesi. Ia berharap, ketuaan fisik dan kerapuhan patung itu tidak membuat devosi dan tradisi yang terawat hingga 5 abad berakhir.

"Sebagai alat yang membantu sudah selayaknya kita harus merawat dan menjaganya,” kata Uskup.

_________________________________________ ***** ________________________________




Tidak ada komentar:

Posting Komentar