Sabtu, 29 Oktober 2011

Aku, Ayahkku, dan Sebuah Lompatan


Dulu, ketika masih duduk di bangku SD, ayah saya selalu minta “mata-matanya” untuk melapor, jika saya kedapatan makan mangga muda atau asam, atau atau apa saja yang asam-asam yang jadi pantangan saya waktu itu. Maklum, perut saya sensitif dengan semua yang asam-asam.  Kalau laporannya sudah masuk, yang paling pertama saya dihajar dengan rotannya. Kalau sudah menangis, saya mulai dikotbahi dengan tema umum: Kesehatan. Sub tema:  bahaya mengkonsumsi asam bagi kesehatan perut. Hem…ayah memang super protektif kalau mengenai urusan persentuhan antara asam dengan perut putra tunggalnya ini.
Prestasi saya yang cukup baik di bangku SMP disbanding saudara-saudara saya, bikin bangga bukan kepalang . Tiap akhir semester, dia tidak pernah absen menghadiri pembagian rapor saya. Bangga nama saya disebut-sebut masuk dalam rangking tiga besar  dari teman-teman sekelas. Jika sudah begitu, senyumnya tidak pernah pergi barang sebentar dari bibirnya. Dengan bangga dia perkenalkan saya ke guru-guru; ya, saya memang kalah tenar jika dibandingkan dengan ayah yang jadi penguasa kampung waktu itu.  Kebetulan SMP sekolah saya itu ada di kampong saya. Jadi otomatis, sebagai kepala desa, ayah “wajib hukumnya” untuk dikenal guru-guru. Di rumah, rasa bangganya itu akan bermetamorfosa menjadi barisan kotbah yang sangaaaaaaaaaaaaaaaaaat panjang.  Dan jadilah adik serta sepupu-sepupu saya sebagai  umat yang melitanikan syair pasrah ini: bersabdalah, kami hanya bisa mendengar. Padahal, jika kotbah panjang itu diringkas, isinya cuma dua kata : Rajin Belajar!
Itu dulu. Kisah lama. Ceritra ketika ayah masih jadi sutradara, selain Sang Sutradar Agung yang atur-atur peran yang harus saya mainkan dalam hidup saya.
Hari ini? Sutradara yang Agung itu masih tetap mainkan perannya sebagai sutradara. Ya ialah, karena hidup ini Dia yang punya. Tapi ayah sudah tidak. Waktu masih mahasiswa, dia bilang, kalau saya sudah harus mampu menyusun naskah hidup saya sendiri dan memainkan peran yang saya buat sendiri.  
Maka jadilah demikian. Sejak saat itu, saya mencomot barisan kotbah panjang yang dulu sering didarasnya, menambal dengan sepotong pengalaman hidup saya,  melengkapi dengan kisah hidup banyak orang yang pernah terindrai, merekatnya dengan KEYAKINAN BESAR, memolesnya dengan kebajikan dan membingkainya dalam DOA. Jadilah ia, BANGUNAN MIMPI BESAR SAYA.
Di tanggal 11 bulan Oktober ini, lagi-lagi saya menambah satu angka untuk umur saya. Makin jauh saya dari masa kecil dulu.
Ini  tahun special, ulang tahun yang bermakna. Bukan karena ucapan selamat dari pacar, adik, sahabat, mantan, teman, kakak, dan tentunya ayah, tapi karena saya mau…………………………………………………...ya, saya mau ini jadi special.
Special, karena bangunan mimpi saya mulai terurai satu-satu jadi realita. Special, karena saya menandainya sebagai tahun ‘kompas’ bagi hidup saya. Special, karena ia hadir jadi batu penjuru. Special, karena saat saya siap melompat, ia menggenapi tenaga saya, meneguhkan keyakinan saya, dan menggairahkan hasrat saya, untuk menabiskan diri saya sebagai pemenang atas hidup saya sendiri.  
JADILAH PEMENANG !!!
                                                                   Refleksi tengah malam di 2010