Kamis, 10 November 2011

Perempuan dari Jendela

 Perempuan itu berhenti sejenak. Jari telunjuknya mengelap butiran keringat yang basah di keningnya. Beberapa mengalir membasahi alisnya. Leher jenjangnya juga mulai dibasahi  keringat.  Setelah menyibak rambutnya yang menempel pada pipinya yang basah, ia mulai berjalan perlahan. Di depan tumpukan batu-batu pecah ia berhenti. Pandangannya melompat dari satu batu ke batu lainnya, sejenak tampak bimbang, kemudian kedua tangannya dijuluri untuk mengangkat sebuah batu yang cukup besar dan membopongnya.  
Ia berbalik melangkah terengah-engah. Raut wajahnya tampak memerah menahan beban di tangannya. Setelah lima langkah, dengan sekali sentakan batu di tangannya dilempar ke tanah. “Prakkk…,” batu yang dilemparnya menghantam tumpukan batu lainnya di tanah.
Ia berhenti. Pandangannya lurus menatap lorong yang sepi. Pagi-pagi biasanya lorong kecil itu tidak dilintasi. Banyak yang masih lelap tertidur. Hanya ibu-ibu yang bangun mengurusi dapurnya. Itu tampak dari kepulan asap yang terlihat hampir dari setiap dapur.
 Kedua tangannya mencakar pinggangnya, sambil membuang napas panjang. Tampak sekali ia lelah. Jari telunjuk kanannya kembali membasuh keringat di wajahnya yang makin deras.
Sudah lima kali ia melakukan hal yang sama. Dari balik jendela aku mengamati setiap gerakannya dengan cermat. Pandanganku tidak pergi darinya kemanapun ia bergerak.
Kali ini cukup lama ia diam di tempatnya berdiri sambil sesekali tangannya mengelap keringat di wajah dan lehernya. Ia menggerai rambut panjangnya yang merah kecoklatan  dan membetulkan ikatnya.
Pagi ini merupakan yang ketiga kalinya kulihat dia melakukan hal itu. Minggu pagi, ketika pertama kalinya dia membangunkanku sekitar pkl. 05.00 pagi, mataku belum cukup kuat untuk melek. Tapi ia memaksaku untuk bangun. Diguncang-guncangkannya badanku sambil merengek minta ditemani. Meski dengan rasa kantuk yang amat sangat, kutemani juga perempuan itu sambil bermalas-malasan di tangga depan rumah.
Hari ketiga ini, ia masih membangunkanku. Tapi kali ini, dia tidak sampai menguncang-guncang tubuhku karena aku sudah terjaga ketika merasakan ia melepas pelukannya dari tubuhku. Sebelum turun dari ranjang, aku sempat mengusap perutnya yang semakin membuncit itu dan kucium keningnya.
Ya, sudah 8 bulan perempuan ini mengandung anakku. Anak kami. Setelah 8 bulan melewati masa pacaran, kami putuskan untuk mengukuhkan ikatan kami dengan menghadirkan seorang manusia bersama kami.
Ya, Perempaun dari jendela itu, ia ibu dari anakku. Perempuan yang menyempurnakanku. 

15 September 2011 tengah malam,
Ketika perempuan itu lelap di sampingku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar