Sudah cukup lama saya tidak
bermalam di Rumah Sakit. Dulu, sejak kecil hingga saya duduk di bangku kelas 2
SMU, Rumah Sakit, Poliklinik, Puskesmas, kamar sakit, selalu menjadi tempat
bermalam saya. Minimal dalam 3 bulan sekali saya harus merelakan waktu satu
minggu saya untuk mendekam di kamar tempat-tempat itu. Ya, memang tubuh saya
waktu itu mengeram plasmodium. Setiap 3
bulan melewati masa inkubasinya, ia meradang menjadi Malaria. Pernah saya
hampir mati karenanya. Karena rutin minum Sambiroto yang pahitnya minta ampun
itu, malaria saya tidak nongol-nongol lagi sejak kelas 2 SMU hingga sekarang.
Mudah-mudahan dia sudah meranggas mati dan tidak berkeliaran lagi dalam darah
saya.
Saya akhirnya kembali bermalam di
Rumah sakit, setelah kurang lebih 11 tahun tidak terkurung dalam kamar pengap
bercat putih, berplafon putih dan seprei yang juga putih itu dengan aroma obat
yang tajam menyumbat hidung. Aroma obat yang tidak sedap itulah yang membuat
saya dulu paling takut menelannya. Saya bermalam di sana bukan karena Malaria
yang merupakan satu-satunya sakit yang selalu menggiring saya ke penjara putih
itu, juga bukan karena sakit lainnya. Kali ini saya menunaikan tugas maha
mulia. Menemani istri menanti kelahiran anak pertama kami.
Kira-kira pkl. 10 malam, setelah
mendapat tanda akan segera melahirkan, kami bergegas ke Rumah sakit. Meski
mertua sudah meyakinkan kalau jarak dari
tanda awal itu sampai melahirkan minimal satu hari tapi itu tidak cukup membuat
kami berdua yakin. “Lebih baik tidur di
rumah sakit malam ini, kalau ada apa-apa kan bisa segera dapat pertolongan,”
demikian istri saya memberi alasan pada orang tuanya atas keputusan kami itu.
Di rumah sakit, oleh perawat kami
malah diminta untuk pulang. Alasannya sama seperti yang dikemukan mertua saya.
Tapi kami urung dipulangkan setelah para bidan yang piket malam itu tahu kalau
tempat tinggal kami jaraknya hamper 9 kilometer dari rumah sakit.
Setelah ditanya ini itu, melewati
prosedur standar pemeriksaan pasien baru, istri saya dibawa ke ruang bersalin.
Malam itu dia langsung diinapkan di sana.
Sebagai suami yang baik dan benar (sangat menyombongkan diri), saya
menemani istri saya dalam kamar tidurnya. Jumpa lagi saya dengan tembok bercat
putih, plafon putih, seprei putih, tapi aroma obatnya tidak tercium malam itu.
Kamar tempat istri saya tidur sebenarnya
hanya dibatasi dengan sekat kain. Ruangan bersalin itu berukuran kira-kira 4 x
12 meter. Sekat-sekat kain menjadikan ruangan itu memiliki 8 kamar tidur. Itulah
satu-satunya kamar persalinan di satu-satunya rumah sakit di kabupaten paling
timur pulau Flores itu. Semuanya sudah penuh terisi. Istri saya menjadi pasien terakhir malam itu.
Tengah malam istri saya sempat
shock. Bagaimana tidak, seorang ibu hamil partus malam itu. Teriak kesakitannya
yang luar biasa membuat istri saya takut. Saking takutnya, ia sampai
berkeringat. Tapi saya tidak menyesalkan keputusan untuk datang malam itu.
Karena istri saya juga mulai merasakan sakit melahirkan. Kalau masih di rumah
kepanikan kami pasti lebih hebat.
Selain keluhan dahsyat ibu yang
partus malam itu, pasien lainnya tidak bikin heboh. Umumnya mengeluh, mendengus
sakit perlahan, memanggil-manggil nama Mamanya, Suaminya, bapanya, moyangnya
dan Tuhannya, . Paginya, situasi ruangan itu baru mulai saya kenali. Termasuk
siapa saja pasien di sisi kiri dan kanan kamar istri saya.
Ada yang menarik perhatian saya
hari itu. Tentang kedua pasien itu. Saya menguping pembicaraan mereka. Pasien
di sebelah kiri istri saya, adalah seorang ibu yang seminggu sebelumnya
berhasil partus di rumah sakit itu. Suaminya yang seorang tukang ojek
menemaninya. Ia terpaksa harus masuk lagi ke rumah sakit karena gangguan pada
perutnya. Menurut suaminya, ia merasa perutnya selalu panas dan sakit. Sudah
dua hari mereka masuk rumah sakit. Dibaringkan di kamar bersalin, tapi belum
diperiksa dokter.
Dari percakapan kedua pasangan
suami istri itu, saya menangkap kekecewaan mereka karena tidak kunjung
diperiksa dokter. Setelah dibujuk suaminya, mereka hampir sepakat untuk memilih
pulang beristirahat di ruamah. “Di sini juga percuma, dokter tidak periksa ma.
Lebih baik istirahat di rumah, kasurnya lebih empuk, bantal lebih empuk,” kata
suami itu membujuk istrinya.
Upaya suaminya itu akhirnya kandas,
setedlah seorang bidan menemui mereka. Ia menawarkan agar mereka pindah ke
ruangan perawatan. “Soalnya ini ruang tindakan, bukan ruang perawatan. Kasihan
nanti istirahatnya terganggu karena ada pasien yang melahirkan. Tapi terserah
ibu, kalau merasa nyaman di sini tidak apa-apa, tetap disini saja,” kata bidan
itu. Ia juga memastikan bahwa mereka akan diperiksa dokter meski sudha pindah
ke ruang perawatan. “Saya sudah telpon dokter tapi karena dia masih sibuk
operasi belum sempat periksa. Nanti di ruang perawatan dokter tetap periksa
kog. Tapi terserah ibu,” bujuknya dengan sangat santun dan berhati-hati.
Sepeninggalan bidan, keduanya
berunding. Istrinya mengembalikan keputusan pada suami. Si suami mempersalahkan
istrinya. “Kan bidan tanya kamu ma, rasa nyaman atau tidak,” sahut si suami.
Entah dibisikan dari mana, suaminya tiba-tiba menaruh curiga pada rencana bidan
memindahkan mereka ke ruang perawatan.
Kepada istrinya, ia menyebut rencana itu sebagai sebuah trik untuk mnahan
mereka lebih lama.
“Semakin lama kita disini semakin
mahal bayarannya. Sebaiknya kita pulang saja. Kalau sebentar ditanya bidan
bilang saja Ma sudah merasa baik. Kalau ditanya kepala masih sakit atau tidak
bilang saja tidak sakit lagi. Biar kita bisa pulang Ma. Di sini juga percuma,”
suaminya menghasut.
Sementara istrinya masih coba
meminta untuk bertahan menunggu pemeriksaan dokter, suaminya mulai menghitung
uang dalam dompetnya. “Uang yang didompet tinggal 200 ribu lebih. Sejak kemarin
sudah terpakai 60 ribu. Uang tidak cukup kalau kita tetap disini,” katanya kali
ini dengan nada cemas.
Kekuatiran mereka terbantahkan oleh
kedatangan seorang bidan yang lain. Kebetulan bidan ini mereka kenal. Atas
pertanyaan mereka, si Bidan menjelaskan bahwa karena menggunakan jamkesmas,
mereka tidak perlu membayar selama berobat di rumah sakit.
Saya yang justru lega karena mereka
tetap di rumah sakit. Saya kemudian berpikir, apakah orang miskin takut untuk
sakit. Kalaupun sakit harus berpura-pura untuk tidak sakit, karena kalau sakit
biayanya tidak mampu mereka jangkau?
Kekuatiran yang hampir sama juga
terjadi dengan pasien yang kamarnya berada di sebelah kanan istri saya. Pasien
itu didiagnosa mengalami gangguan fungsi ginjal. Ia sudah partus sebulan yang
lalu. Ibu itu dirujuk ke Maumere untuk menjalani pemeriksaan lebih lengkap.
Katanya di Maumere, alat-alat kesehatannya lebih baik.
Kekuatirannya saya ketahui, juga
ketika saya menguping pembicaraannya lewat telpon. Tapi saya bukan penguping
lho…Kebetulan saja pembicaraan mereka nyerempet dikuping saja, ya saya
kupingin…..hehehehe… Ibu itu menangis, ia mengadu ke lawan bicaranya di telpon
genggam itu. Rupanya yang meneleponnya adalah saudaranya yang berada di tempat
yang jauh . Kepada saudaranya, ia mengabarkan jika dia sendirian di rumah
sakit. Dia berceritera tentang sakitnya, tentang suaminya yang percaya sakit
yang ia derita karena urusan adat yang belum beres dan kini terpaksa kembali ke
kampung mereka yang jauhnya 60-an Km dari rumah sakit untuk mengemas pakaian
mereka. Tidak ada yang menemaninya karena tujuan mereka ke rumah sakit awalnya
hanya rawat jalan. Dia juga mengabarkan bahwa dia harus dirujuk ke Maumere
untuk general check up.
“Tolong bilang om Agus supaya
datang lihat saya. Saya tidak ada uang,” pintanya sambil menangis.
Pria yang bernama om Agus itu
datang menjelang sore. Orang itu rupanya sekampung dengan si ibu dan tinggal di
kota Larantuka. Di hadapan bidan yang bertugas, dia dengan tegas mengaku
sebagai penanggung jawab atas si ibu.
Tetapi ketika disampaikan bahwa ibu itu harus dirujuk ke Maumere,
ketegasannya mulai kendor.
Agus yang datang dengan seorang
perempuan kurus berkacamata yang sejak datang terus sibuk mengutak-atik hand
phonenya, kemudian terlibat pembicaraan serius dengan perempuan itu di lorong
depan ruang bersalin. Entah apa yang mereka bicarakan. Beberapa menit
berselang, keduanya masuk ke kamar si ibu pasien. Kepada si ibu,mereka
menanyakan apakah si ibu bersedia dirujuk ke di Maumere. Dari percakapan
mereka, saya kemudian tahu bahwa mereka kesulitan uang. Rupanya Agus telah
dimintai bantuannya oleh saudara si ibu pasien untuk menalangi seluruh biaya perawatan.
Entah bagaimana model kesepakatan itu terbangun tetapi yang pasti, Agus mengaku
sedang kesulitan uang.
“Rumah sakit di Maumere biayanya
mahal. Saya hanya bisa bantu sewa ambulans saja (Rp. 560 ribu). Jadi bagaimana,
kita pergi atau kita pulang dulu urus adat,” bujuk Agus.
Si ibu hanya pasrah. “Wenge mio
(terserah kalian),” ujarnya dalam bahasa Lamaholot. Lagi-lagi nasib si ibu
masih diselamatkan oleh penjelasan bidan yang nyaris terlambat. “Tidak ada
biaya. Di Maumere tidak bayar juga asal ibu punya Jamkesmas,” jelas bidan itu.
Kembali saya lega; ibu itu bisa
dapat kesempatan paling kurang mengetahui secara pasti sakit yang dideritanya.
Agus juga pastinya lega karena terbebas dari tanggung jawab membiayai si ibu.
Miris
hati saya. Masih berapa banyak lagi orang dengan nasib seperti kedua orang itu.
Mereka yang sakit tapi takut ke rumah sakit agar tidak harus mengeluarkan
ongkos. Mereka yang karena tidak tahu
jamkesmas membebaskan mereka dari banyak biaya untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan, harus rela menahan derita agar tidak dibilang sakit. Ah,
menyedihkan!
Ris, keren tulisannya. Salut
BalasHapusSalam utk Putera Sulung dan bundanya e akane..
BalasHapus