Jumat, 11 November 2011
Kamis, 10 November 2011
Perempuan dari Jendela
Ia berbalik
melangkah terengah-engah. Raut wajahnya tampak memerah menahan beban di
tangannya. Setelah lima langkah, dengan sekali sentakan batu di tangannya
dilempar ke tanah. “Prakkk…,” batu yang dilemparnya menghantam tumpukan batu lainnya
di tanah.
Ia berhenti.
Pandangannya lurus menatap lorong yang sepi. Pagi-pagi biasanya lorong kecil
itu tidak dilintasi. Banyak yang masih lelap tertidur. Hanya ibu-ibu yang
bangun mengurusi dapurnya. Itu tampak dari kepulan asap yang terlihat hampir
dari setiap dapur.
Kedua tangannya mencakar pinggangnya, sambil
membuang napas panjang. Tampak sekali ia lelah. Jari telunjuk kanannya kembali
membasuh keringat di wajahnya yang makin deras.
Sudah lima kali ia
melakukan hal yang sama. Dari balik jendela aku mengamati setiap gerakannya
dengan cermat. Pandanganku tidak pergi darinya kemanapun ia bergerak.
Kali ini cukup lama
ia diam di tempatnya berdiri sambil sesekali tangannya mengelap keringat di
wajah dan lehernya. Ia menggerai rambut panjangnya yang merah kecoklatan dan membetulkan ikatnya.
Pagi ini merupakan
yang ketiga kalinya kulihat dia melakukan hal itu. Minggu pagi, ketika pertama
kalinya dia membangunkanku sekitar pkl. 05.00 pagi, mataku belum cukup kuat
untuk melek. Tapi ia memaksaku untuk bangun. Diguncang-guncangkannya badanku sambil
merengek minta ditemani. Meski dengan rasa kantuk yang amat sangat, kutemani
juga perempuan itu sambil bermalas-malasan di tangga depan rumah.
Hari ketiga ini, ia
masih membangunkanku. Tapi kali ini, dia tidak sampai menguncang-guncang
tubuhku karena aku sudah terjaga ketika merasakan ia melepas pelukannya dari
tubuhku. Sebelum turun dari ranjang, aku sempat mengusap perutnya yang semakin
membuncit itu dan kucium keningnya.
Ya, sudah 8 bulan
perempuan ini mengandung anakku. Anak kami. Setelah 8 bulan melewati masa
pacaran, kami putuskan untuk mengukuhkan ikatan kami dengan menghadirkan
seorang manusia bersama kami.
Ya, Perempaun dari
jendela itu, ia ibu dari anakku. Perempuan yang menyempurnakanku.
15 September
2011 tengah malam,
Ketika
perempuan itu lelap di sampingku
Rabu, 02 November 2011
Kado Kelahiran Putra Sulungku (1) “Orang Miskin Takut Sakit”
Sudah cukup lama saya tidak
bermalam di Rumah Sakit. Dulu, sejak kecil hingga saya duduk di bangku kelas 2
SMU, Rumah Sakit, Poliklinik, Puskesmas, kamar sakit, selalu menjadi tempat
bermalam saya. Minimal dalam 3 bulan sekali saya harus merelakan waktu satu
minggu saya untuk mendekam di kamar tempat-tempat itu. Ya, memang tubuh saya
waktu itu mengeram plasmodium. Setiap 3
bulan melewati masa inkubasinya, ia meradang menjadi Malaria. Pernah saya
hampir mati karenanya. Karena rutin minum Sambiroto yang pahitnya minta ampun
itu, malaria saya tidak nongol-nongol lagi sejak kelas 2 SMU hingga sekarang.
Mudah-mudahan dia sudah meranggas mati dan tidak berkeliaran lagi dalam darah
saya.
Saya akhirnya kembali bermalam di
Rumah sakit, setelah kurang lebih 11 tahun tidak terkurung dalam kamar pengap
bercat putih, berplafon putih dan seprei yang juga putih itu dengan aroma obat
yang tajam menyumbat hidung. Aroma obat yang tidak sedap itulah yang membuat
saya dulu paling takut menelannya. Saya bermalam di sana bukan karena Malaria
yang merupakan satu-satunya sakit yang selalu menggiring saya ke penjara putih
itu, juga bukan karena sakit lainnya. Kali ini saya menunaikan tugas maha
mulia. Menemani istri menanti kelahiran anak pertama kami.
Kira-kira pkl. 10 malam, setelah
mendapat tanda akan segera melahirkan, kami bergegas ke Rumah sakit. Meski
mertua sudah meyakinkan kalau jarak dari
tanda awal itu sampai melahirkan minimal satu hari tapi itu tidak cukup membuat
kami berdua yakin. “Lebih baik tidur di
rumah sakit malam ini, kalau ada apa-apa kan bisa segera dapat pertolongan,”
demikian istri saya memberi alasan pada orang tuanya atas keputusan kami itu.
Di rumah sakit, oleh perawat kami
malah diminta untuk pulang. Alasannya sama seperti yang dikemukan mertua saya.
Tapi kami urung dipulangkan setelah para bidan yang piket malam itu tahu kalau
tempat tinggal kami jaraknya hamper 9 kilometer dari rumah sakit.
Setelah ditanya ini itu, melewati
prosedur standar pemeriksaan pasien baru, istri saya dibawa ke ruang bersalin.
Malam itu dia langsung diinapkan di sana.
Sebagai suami yang baik dan benar (sangat menyombongkan diri), saya
menemani istri saya dalam kamar tidurnya. Jumpa lagi saya dengan tembok bercat
putih, plafon putih, seprei putih, tapi aroma obatnya tidak tercium malam itu.
Kamar tempat istri saya tidur sebenarnya
hanya dibatasi dengan sekat kain. Ruangan bersalin itu berukuran kira-kira 4 x
12 meter. Sekat-sekat kain menjadikan ruangan itu memiliki 8 kamar tidur. Itulah
satu-satunya kamar persalinan di satu-satunya rumah sakit di kabupaten paling
timur pulau Flores itu. Semuanya sudah penuh terisi. Istri saya menjadi pasien terakhir malam itu.
Tengah malam istri saya sempat
shock. Bagaimana tidak, seorang ibu hamil partus malam itu. Teriak kesakitannya
yang luar biasa membuat istri saya takut. Saking takutnya, ia sampai
berkeringat. Tapi saya tidak menyesalkan keputusan untuk datang malam itu.
Karena istri saya juga mulai merasakan sakit melahirkan. Kalau masih di rumah
kepanikan kami pasti lebih hebat.
Selain keluhan dahsyat ibu yang
partus malam itu, pasien lainnya tidak bikin heboh. Umumnya mengeluh, mendengus
sakit perlahan, memanggil-manggil nama Mamanya, Suaminya, bapanya, moyangnya
dan Tuhannya, . Paginya, situasi ruangan itu baru mulai saya kenali. Termasuk
siapa saja pasien di sisi kiri dan kanan kamar istri saya.
Ada yang menarik perhatian saya
hari itu. Tentang kedua pasien itu. Saya menguping pembicaraan mereka. Pasien
di sebelah kiri istri saya, adalah seorang ibu yang seminggu sebelumnya
berhasil partus di rumah sakit itu. Suaminya yang seorang tukang ojek
menemaninya. Ia terpaksa harus masuk lagi ke rumah sakit karena gangguan pada
perutnya. Menurut suaminya, ia merasa perutnya selalu panas dan sakit. Sudah
dua hari mereka masuk rumah sakit. Dibaringkan di kamar bersalin, tapi belum
diperiksa dokter.
Dari percakapan kedua pasangan
suami istri itu, saya menangkap kekecewaan mereka karena tidak kunjung
diperiksa dokter. Setelah dibujuk suaminya, mereka hampir sepakat untuk memilih
pulang beristirahat di ruamah. “Di sini juga percuma, dokter tidak periksa ma.
Lebih baik istirahat di rumah, kasurnya lebih empuk, bantal lebih empuk,” kata
suami itu membujuk istrinya.
Upaya suaminya itu akhirnya kandas,
setedlah seorang bidan menemui mereka. Ia menawarkan agar mereka pindah ke
ruangan perawatan. “Soalnya ini ruang tindakan, bukan ruang perawatan. Kasihan
nanti istirahatnya terganggu karena ada pasien yang melahirkan. Tapi terserah
ibu, kalau merasa nyaman di sini tidak apa-apa, tetap disini saja,” kata bidan
itu. Ia juga memastikan bahwa mereka akan diperiksa dokter meski sudha pindah
ke ruang perawatan. “Saya sudah telpon dokter tapi karena dia masih sibuk
operasi belum sempat periksa. Nanti di ruang perawatan dokter tetap periksa
kog. Tapi terserah ibu,” bujuknya dengan sangat santun dan berhati-hati.
Sepeninggalan bidan, keduanya
berunding. Istrinya mengembalikan keputusan pada suami. Si suami mempersalahkan
istrinya. “Kan bidan tanya kamu ma, rasa nyaman atau tidak,” sahut si suami.
Entah dibisikan dari mana, suaminya tiba-tiba menaruh curiga pada rencana bidan
memindahkan mereka ke ruang perawatan.
Kepada istrinya, ia menyebut rencana itu sebagai sebuah trik untuk mnahan
mereka lebih lama.
“Semakin lama kita disini semakin
mahal bayarannya. Sebaiknya kita pulang saja. Kalau sebentar ditanya bidan
bilang saja Ma sudah merasa baik. Kalau ditanya kepala masih sakit atau tidak
bilang saja tidak sakit lagi. Biar kita bisa pulang Ma. Di sini juga percuma,”
suaminya menghasut.
Sementara istrinya masih coba
meminta untuk bertahan menunggu pemeriksaan dokter, suaminya mulai menghitung
uang dalam dompetnya. “Uang yang didompet tinggal 200 ribu lebih. Sejak kemarin
sudah terpakai 60 ribu. Uang tidak cukup kalau kita tetap disini,” katanya kali
ini dengan nada cemas.
Kekuatiran mereka terbantahkan oleh
kedatangan seorang bidan yang lain. Kebetulan bidan ini mereka kenal. Atas
pertanyaan mereka, si Bidan menjelaskan bahwa karena menggunakan jamkesmas,
mereka tidak perlu membayar selama berobat di rumah sakit.
Saya yang justru lega karena mereka
tetap di rumah sakit. Saya kemudian berpikir, apakah orang miskin takut untuk
sakit. Kalaupun sakit harus berpura-pura untuk tidak sakit, karena kalau sakit
biayanya tidak mampu mereka jangkau?
Kekuatiran yang hampir sama juga
terjadi dengan pasien yang kamarnya berada di sebelah kanan istri saya. Pasien
itu didiagnosa mengalami gangguan fungsi ginjal. Ia sudah partus sebulan yang
lalu. Ibu itu dirujuk ke Maumere untuk menjalani pemeriksaan lebih lengkap.
Katanya di Maumere, alat-alat kesehatannya lebih baik.
Kekuatirannya saya ketahui, juga
ketika saya menguping pembicaraannya lewat telpon. Tapi saya bukan penguping
lho…Kebetulan saja pembicaraan mereka nyerempet dikuping saja, ya saya
kupingin…..hehehehe… Ibu itu menangis, ia mengadu ke lawan bicaranya di telpon
genggam itu. Rupanya yang meneleponnya adalah saudaranya yang berada di tempat
yang jauh . Kepada saudaranya, ia mengabarkan jika dia sendirian di rumah
sakit. Dia berceritera tentang sakitnya, tentang suaminya yang percaya sakit
yang ia derita karena urusan adat yang belum beres dan kini terpaksa kembali ke
kampung mereka yang jauhnya 60-an Km dari rumah sakit untuk mengemas pakaian
mereka. Tidak ada yang menemaninya karena tujuan mereka ke rumah sakit awalnya
hanya rawat jalan. Dia juga mengabarkan bahwa dia harus dirujuk ke Maumere
untuk general check up.
“Tolong bilang om Agus supaya
datang lihat saya. Saya tidak ada uang,” pintanya sambil menangis.
Pria yang bernama om Agus itu
datang menjelang sore. Orang itu rupanya sekampung dengan si ibu dan tinggal di
kota Larantuka. Di hadapan bidan yang bertugas, dia dengan tegas mengaku
sebagai penanggung jawab atas si ibu.
Tetapi ketika disampaikan bahwa ibu itu harus dirujuk ke Maumere,
ketegasannya mulai kendor.
Agus yang datang dengan seorang
perempuan kurus berkacamata yang sejak datang terus sibuk mengutak-atik hand
phonenya, kemudian terlibat pembicaraan serius dengan perempuan itu di lorong
depan ruang bersalin. Entah apa yang mereka bicarakan. Beberapa menit
berselang, keduanya masuk ke kamar si ibu pasien. Kepada si ibu,mereka
menanyakan apakah si ibu bersedia dirujuk ke di Maumere. Dari percakapan
mereka, saya kemudian tahu bahwa mereka kesulitan uang. Rupanya Agus telah
dimintai bantuannya oleh saudara si ibu pasien untuk menalangi seluruh biaya perawatan.
Entah bagaimana model kesepakatan itu terbangun tetapi yang pasti, Agus mengaku
sedang kesulitan uang.
“Rumah sakit di Maumere biayanya
mahal. Saya hanya bisa bantu sewa ambulans saja (Rp. 560 ribu). Jadi bagaimana,
kita pergi atau kita pulang dulu urus adat,” bujuk Agus.
Si ibu hanya pasrah. “Wenge mio
(terserah kalian),” ujarnya dalam bahasa Lamaholot. Lagi-lagi nasib si ibu
masih diselamatkan oleh penjelasan bidan yang nyaris terlambat. “Tidak ada
biaya. Di Maumere tidak bayar juga asal ibu punya Jamkesmas,” jelas bidan itu.
Kembali saya lega; ibu itu bisa
dapat kesempatan paling kurang mengetahui secara pasti sakit yang dideritanya.
Agus juga pastinya lega karena terbebas dari tanggung jawab membiayai si ibu.
Miris
hati saya. Masih berapa banyak lagi orang dengan nasib seperti kedua orang itu.
Mereka yang sakit tapi takut ke rumah sakit agar tidak harus mengeluarkan
ongkos. Mereka yang karena tidak tahu
jamkesmas membebaskan mereka dari banyak biaya untuk mendapatkan pelayanan
kesehatan, harus rela menahan derita agar tidak dibilang sakit. Ah,
menyedihkan! Sabtu, 29 Oktober 2011
Aku, Ayahkku, dan Sebuah Lompatan
Dulu, ketika masih duduk di bangku SD, ayah saya selalu minta “mata-matanya” untuk melapor, jika saya kedapatan makan mangga muda atau asam, atau atau apa saja yang asam-asam yang jadi pantangan saya waktu itu. Maklum, perut saya sensitif dengan semua yang asam-asam. Kalau laporannya sudah masuk, yang paling pertama saya dihajar dengan rotannya. Kalau sudah menangis, saya mulai dikotbahi dengan tema umum: Kesehatan. Sub tema: bahaya mengkonsumsi asam bagi kesehatan perut. Hem…ayah memang super protektif kalau mengenai urusan persentuhan antara asam dengan perut putra tunggalnya ini.
Prestasi saya yang cukup baik di bangku SMP disbanding saudara-saudara saya, bikin bangga bukan kepalang . Tiap akhir semester, dia tidak pernah absen menghadiri pembagian rapor saya. Bangga nama saya disebut-sebut masuk dalam rangking tiga besar dari teman-teman sekelas. Jika sudah begitu, senyumnya tidak pernah pergi barang sebentar dari bibirnya. Dengan bangga dia perkenalkan saya ke guru-guru; ya, saya memang kalah tenar jika dibandingkan dengan ayah yang jadi penguasa kampung waktu itu. Kebetulan SMP sekolah saya itu ada di kampong saya. Jadi otomatis, sebagai kepala desa, ayah “wajib hukumnya” untuk dikenal guru-guru. Di rumah, rasa bangganya itu akan bermetamorfosa menjadi barisan kotbah yang sangaaaaaaaaaaaaaaaaaat panjang. Dan jadilah adik serta sepupu-sepupu saya sebagai umat yang melitanikan syair pasrah ini: bersabdalah, kami hanya bisa mendengar. Padahal, jika kotbah panjang itu diringkas, isinya cuma dua kata : Rajin Belajar!
Itu dulu. Kisah lama. Ceritra ketika ayah masih jadi sutradara, selain Sang Sutradar Agung yang atur-atur peran yang harus saya mainkan dalam hidup saya.
Hari ini? Sutradara yang Agung itu masih tetap mainkan perannya sebagai sutradara. Ya ialah, karena hidup ini Dia yang punya. Tapi ayah sudah tidak. Waktu masih mahasiswa, dia bilang, kalau saya sudah harus mampu menyusun naskah hidup saya sendiri dan memainkan peran yang saya buat sendiri.
Maka jadilah demikian. Sejak saat itu, saya mencomot barisan kotbah panjang yang dulu sering didarasnya, menambal dengan sepotong pengalaman hidup saya, melengkapi dengan kisah hidup banyak orang yang pernah terindrai, merekatnya dengan KEYAKINAN BESAR, memolesnya dengan kebajikan dan membingkainya dalam DOA. Jadilah ia, BANGUNAN MIMPI BESAR SAYA.
Di tanggal 11 bulan Oktober ini, lagi-lagi saya menambah satu angka untuk umur saya. Makin jauh saya dari masa kecil dulu.
Ini tahun special, ulang tahun yang bermakna. Bukan karena ucapan selamat dari pacar, adik, sahabat, mantan, teman, kakak, dan tentunya ayah, tapi karena saya mau…………………………………………………...ya, saya mau ini jadi special.
Special, karena bangunan mimpi saya mulai terurai satu-satu jadi realita. Special, karena saya menandainya sebagai tahun ‘kompas’ bagi hidup saya. Special, karena ia hadir jadi batu penjuru. Special, karena saat saya siap melompat, ia menggenapi tenaga saya, meneguhkan keyakinan saya, dan menggairahkan hasrat saya, untuk menabiskan diri saya sebagai pemenang atas hidup saya sendiri.
JADILAH PEMENANG !!!
Refleksi tengah malam di 2010
Langganan:
Postingan (Atom)